ELEKTORAL.ID, Manado – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Utara (Sulut) bersama KPU Minahasa menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Bedah Histori Minahasa Raad dan Pemilu Minahasa Pra 1955” (Minahasa Pioner Demokrasi dan Kepemiluan di Indonesia) di Ruang Rapat Kantor KPU Minahasa, Selasa (10/9/2019).
Kegiatan yang dimoderatori Direktur Komunitas Penulis Muda Minahasa (MAPATIK), Rikson Karundeng dihadiri Sejarawan Fendy Parengkuan, Bodewyn Talumewo serta penulis juga peneliti Denni Pinontoan. Juga memberikan penjelasannya Komisioner KPU Sulawesi Utara, Meidy Tinangon serta Komisioner KPU Minahasa, Piter Mawikere.
Mengutip kata pemerhati kepemiluan Nur Hidayat Sardini, Karundeng menyebut bahwa demokrasi elektoral sesungguhnya telah tertanam sangat dalam pada kultur sejarah Minahasa, terutama pada abad 11 Masehi. Kemandirian demokrasi di Minahasa ini selanjutnya berperan dalam setiap aspek kehidupan, adat dan pemerintahan. “Di sinilah tempat yang paling baik berkecambahnya karakter demokrasi. Didukung oleh kemelekan huruf masyarakat, tapi juga dinamika sejarah yang sangat panjang,” kata Karundeng menirukan materi yang dibacakan.
Karundeng kemudian melanjutkan bahwa demokrasi elektoral di Minahasa sesungguhnya secara tidak langsung menjadi role model penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia, 1955. Pemilu yang diklaim sukses dengan indikator tingkat partisipasinya itu mendasarkan referensinya pada hasil kajian Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) khususnya pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Minahasa pada 1951. “Pemilu 1951 yang merupakan pemilu lokal pertama di Indonesia diujicobakan. Pemilu langsung di Minahasa ini dianggap menarik dan kemudian menjadi referensi penting bagi penyelenggaraan pemilu 1955,” sebut Karundeng.
Sementara itu Bodewyn Talumewo pada kesempatan itu menjelaskan secara umum sejarah demokrasi di Minahasa. Dia juga mengulas sejarah Minahasa Raad, mulai dari pembentukan, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, termasuk sejarah pembangunan Gedung Minahasa Raad yang hingga kini masih berdiri kokoh di samping landmark zero point Manado.
Dikesempatan lain, Fendy Parengkuan mengulas soal sejarah demokrasi modern di Minahasa. Kedatangan bangsa Eropa ke Minahasa diikuti dengan keterkejutannya mereka melihat sistem demokrasi yang disebutnya mirip dengan Yunani. Mereka yang berasal dari negara kerajaan menyebut desa-desa di Minahasa sebagai doors repoblik. “Segala kebijakan, keputusan selalu diambil bersama. Seluruh Indonesia, di Minahasa pertama kali ada dewan perwakilan rakyat. Dewan Minahasa yang disebut Minahasa Raad. Dibentuk tahun 1918,” terang Parengkuan.
Denni Pinontoan memaparkan materi ‘Dari Maasa ke Minahasa-Raad, Demokrasi Ala Minahasa’. Dalam materinya ia mengulas lebih jauh soal nilai demokrasi yang berakar di Minahasa jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat. Secara sistematis dia memaparkan demokrasi tradisional Minahasa, Minahasa Raad sebagai lembaga demokrasi modern Minahasa dan membahas secara khusus tentang makna logo Minahasa Raad. Denni juga merefleksikan makna-makna historis-kultural tentang Minahasa Raad, lebih khusus lagi makna di balik sejarah politik kehadiran dan keberadaan Minahasa Raad.
“Masyarakat Minahasa tidak mengenal kata demokrasi. Tapi di sini kenapa ada ‘Minahasa pioner demokrasi di Indonesia. Istilah ini barangkali digunakan dalam pengertian, jauh sebelum Pemilu 1955 digelar, masyarakat Minahasa sudah mengenal dan memberlakukan prinsip-prinsip atau tata cara yang kemudian kita sebut demokrasi modern. Kita sudah mengenal sistem perwakilan dan musyawarah. Sistem ini sudah sejak lama dikenal di Minahasa, jauh sebelum orang Portugis dan Spanyol masuk ke Minahasa,” terang Pinontoan.
Sementara itu Piter Mawikere mengungkapkan banyak tokoh nasional yang sering menyebut Minahasa sebagai pioner demokrasi di Indonesia. Dan melalui FGD ini diharapkan akan ada banyak jawaban yang terungkap dari penilaian tersebut. “Kami berterima kasih sebab dalam diskusi ini kami bisa mendapat gambaran secara luas soal demokrasi di Minahasa hingga perkembangannyadi era modern,” ucap Mawikere.
Dikesempatan terakhir Meidy Tinangon bersyukur karena FGD banyak mengangkat hal-hal yang belum terkuak ke permukaan. Seperti yang baru diketahui, bahwa ternyata praktek pemilu modern seperti pengaturan hak memilih, pengaturan syarat calon, daerah pemilihan dan jumlah kursi, telah dipraktekkan di Minahasa dalam Pemilu Minahasa Raad yang eksis sejak 1918. “Bukti otentik pengaturan tersebut dapat dilihat pada Peratoeran Tentang Pemilihan Anggota Minahasaraad yang diundangkan melalui Staatsblad 1929 nomor 355 sebagai perubahan Ordonnansi tertanggal 8 Februari 1919, Staatsblad nomor 65 yang sebelumnya diubah terakhir dengan Ordonnansi 6 September 1927,” ungkap Tinangon.
“Tentu saja ini makin mengokohkan peran sentral Sulut khususnya Minahasa dalam sejarah demokrasi Indonesia sebagai pioner demokrasi dan kepemiluan di Indonesia,” tandas Tinangon.
Turut hadir dalam FGD ini, Komisoner KPU Minahasa Kristovorus Ngantung dan Rendy Suawa, Sekretaris KPU Minahasa DR Meidy Malonda MAP, sejumlah akademisi, jurnalis, aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulut dan Komunitas Peduli Pemilu. (kpu sulut)