ELEKTORAL.ID, Manado – Tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) menuntut kesiapan institusi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sejumlah agenda para penghuni gedung Senayan, dinilai bakal menjadi hambatan khusus. Sementara, gerak para wakil rakat Indonesia ini akan ikut mempengaruhi langkah penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal itu diungkapkan praktisi dunia kepemiluan Indonesia, Dr. Ferry Daud Liando.
“Memenuhi ketentuan pasal 52 UU 12/2011 tentang penyusunan peraturan perundang-undangan, menyebutkan bahwa Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) harus mendapat persetujuan DPR,” kata Liando.
Ia menjelaskan, ada dua persoalan terkait pasal ini. Pertama, pembahasan Perppu akan dilakukan dalam sidang DPR selanjutnya.
“Kemungkinan besar sidang itu akan dilaksanakan setelah 14 Juni 2020, yakni setelah DPR melaksanakan agenda reses. Dengan demikian diundangkannya Perppu ini baru pada awal Juli 2020. Padahal tahapan pilkada seharusnya sudah dimulai di awal Juni 2020,” jelas Liando.
Agenda reses DPR tentu akan mengganggu juga kesiapan KPU, yang akan merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sebagai penyesuaian dari PKPU yang dibentuk berdasarkan UU 10/2016.
“Memenuhi ketentuan pasal 75 ayat 4 UU 7/2017 tentang pemilihan umum (pemilu), bahwa penyelenggara pemilu wajib berkonsultasi dengan DPR dalam pembentukan aturan pemilu, termasuk PKPU,” ujar Liando yang juga aktif meneliti isu-isu kepemiluan di Indonesia.
Jika PKPU terkendala agenda reses DPR, tentu tidak hanya menyulitkan KPU. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam kewenangan pencegahan, pengawasan dan penindakan tetap membutuhkan kepastian hukum.
“Larangan bagi kepala daerah yang melakukan mutasi, acuannya pada PKPU tahapan yang mengatur jadwal penetapan pasangan calon,” sebut Liando.
Lebih lanjut ia menjelaskan, UU 10/2016 menyebutkan larangan bagi kepala daerah melakukan mutasi pejabat 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon.
“Jika PKPU tentang tahapan belum diterbitkan, maka akan menyulitkan kerja Bawaslu. Padahal banyak kepala daerah yang melakukan mutasi,” terang Ketua Minat Tata Kelola Pemilu Pasca Sarjana Unsrat ini.
Kedua, jika Perppu wajib melewati mekanisme persetujuan DPR, maka kondisi ini rawan tersendat, terutama soal waktu. Kepentingan di DPR soal pilkada terpecah pada dua sikap.
“Pihak lain setuju dengan sikap pemerintah sebagaimana isi Perppu, namun sebagian menghendaki pengaturan pilkada harusnya terintegrasi dengan RUU Pemilu yang saat ini sedang dibahas DPR,” ungkap Liando.
Ditambahkannya, kelompok ini berharap pilkada 2020 menyesuikan dengan konsep pemilu nasional dan pemilu lokal.
“Pemilu lokal (pemilihan gubernur, bupati, walikota, DPRD provinsi/kabupaten/kota) dilaksanakan 2 tahun sebelum pemilu nasional (pemilihan presiden/wakil presiden, DPD dan DPR RI). Sehingga pihak ini berharap agar pilkada 2020 ditunda, dan digelar bersamaan dengan pemilu lokal pada 2022 nanti,” tandas Liando. (Anugrah Pandey)