Penulis: Hendro Karundeng
ELEKTORAL.ID, Tomohon – Memperingati hari ulang tahun (HUT) wanua ke-886, masyarakat Woloan raya gelar Festival Wanua Woloan. Agenda itu dilaksanakan di Amfiteater Woloan, Jumat (09/08/24).
Kepala Wilayah Kecamatan Tomohon Barat, Rosevelty Kapoh, S.H., menjelaskan kegiatan HUT Wanua Woloan ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2019 lalu. Ketika itu dengan persiapan yang sederhana, karena baru pertama kali menggelar Festival Wanua Woloan. Saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19, agenda ini sempat tidak dilaksanakan.
“Pasca pandemi Covid-19 di tahun 2022 dan 2023, kami melaksanakan kembali Festival Wanua Woloan. Waktu itu kami melaksanakan festival dengan sangat meriah, karena mendapat banyak dukungan. Kalau mau dilihat perbandingan kegiatan tahun ini dengan tahun-tahun lalu, yang hadir saat itu hanya sepersekian persen dari masyarakat yang hadir ketika itu. Karena di tahun lalu yang hadir bisa sampai tiga ribuan orang, tapi untuk kali ini tidak sampai 500 orang dan tidak tahu alasannya karena apa,” ucap Kapoh.
Menurutnya, kegiatan seperti Festival Wanua Woloan sangat besar dampaknya terhadap masyarakat. Salah satunya, terkait bahasa Tombulu yang sudah hilang.
“Salah satu cara untuk melestarikan bahasa Tombulu kepada anak-anak muda yang sudah tidak tau berbahasa Tombulu, yaitu melalui kegiatan-kegiatan seperti ini. Kegiatan yang dilakukan menggunakan bahasa Tombulu,” kata Kapoh.
Dijelaskan, saat ini mereka, para tetua Woloan bersama Pusat Kebudayaan Tombulu (Puketo) sudah merancang program melestarikan bahasa Tombulu. Mereka akan turun langsung di sekolah-sekolah untuk mengajarkan bahasa Tombulu. Jadi tidak melalui dinas, tapi mereka sendiri, orang Woloan, para tetua dan Puketo yang berinisiatif untuk berkunjung ke sekolah.
“Sekarang yang menjadi tugas dan tujuan kita, bagaimana caranya untuk menawarkan kepada pemerintah agar bisa menyediakan waktu satu jam kepada orang-orang yang akan menawarkan diri jadi guru bahasa Tombulu. Karena hingga saat ini tidak ada lagi pembelajaran muatan lokal. Mungkin zaman dulu ada. Ini saatnya kita bersuara kepada pemerintah agar bahasa Tombulu bisa dilestarikan melalui kegiatan-kegiatan seperti ini atau juga melestarikan budaya dalam kegiatan seni pertunjukan maupun bahasa,” jelasnya.
Ada juga berbagai macam seni tradisi yang penting untuk tetap dihidupkan melalui kegiatan seperti festival wanua. Seperti maengket, mahzani, kawasaran.
“Mahzani ini nanti akan kita seminarkan di program berikut, karena kebetulan juga yang menulis tentang mahzani itu orang asal Woloan, yaitu Pastor Yus Talangi. Mahzani itu memang tulisan yang diangkat dari orang Woloan dan sudah dibukukan, serta dijadikan sebagai penelitian untuk studi S2 dan nanti akan diseminarkan,” terang Kapoh.
Ia menegaskan, soal seni mahzani, ada begitu banyak yang sudah hilang.
“Di dalam mahzani itu ada tarian dalam proses masa panen padi. Seperti pengucapan syukur yang kita dilakonkan dalam Festival Wanua Woloan. Ada juga maramba, naik rumah baru, serta buka kebun, selalu mengucap syukur kepada Tuhan. Selesai mengadakan pertemuan seperti rapat, kita juga bersyukur dan banyak lainnya,” paparnya.
“Itu baru satu sisi dari mahzani dan sudah begitu banyak yang tidak dilakukan atau sudah hilang di Woloan. Itu yang menjadi salah satu keinginan kita ke depannya, yaitu tetap terus melestarikan tradisi seni, budaya, serta bahasa agar supaya anak, cucu kita tidak kehilangan identitas. Itulah yang menjadi motivasi kami,” tegasnya.
Menurutnya, apalah arti sebuah nama orang yang asli Woloan, suku Tombulu, tapi tidak bisa menunjukkan identitas mereka.
“Misalnya kalau ada yang bertanya dia asal mana, kemudian jawab Tomohon, Woloan, Tombulu. Mereka menanyakan dengan bahasa Tombulu, tapi tidak tahu untuk menjawab dengan bahasa Tombulu,” jelas Kapoh.
“Saya yakin, suatu saat nanti di 20 sampai 30 tahun ke depan, sudah tidak ada lagi yang tahu berbahasa Tombulu. Maka hilanglah identitas orang Tombulu. Kekhawatiran inilah yang menjadi bagian dari pendorong keinginan-keinginan kita untuk melaksanakan kegiatan festival wanua. Itu hanya sekedar contoh saja,” ujar Kapoh.
Sebagai tokoh masyarakat Woloan, Kapoh juga menilai soal etika masyarakat yang sudah banyak terdegradasi. Ia montohkan, di zamannya muda, ketika bertemu dengan orang yang lebih tua, mereka selalu menunjukkan rasa hormat dan sangat segan.
“Orang-orang zaman dulu selalu memahami bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua dan itu yang diajarkan dalam adat, budaya kami. Sedangkan di sekolah-sekolah saat ini tidak diajarkan adat, melainkan lebih fokus belajar ilmu pengetahuan. Semakin berkembang ilmu pengetahuan, maka semakin sulit untuk belajar bahasa daerah, seni tradisi dan budaya. Itu yang menjadi salah satu dampak degradasi budaya, kemajuan teknologi seperti telepon genggam,” ungkap Kapoh.
Kata Kapoh, salah satu contoh ketika telepon genggam menjadi tempat bermain anak-anak, mereka mulai mengirim pesan dengan teman-teman di wilayah luar seperti Jawa. Di saat mereka berbicara, di situ langsung menggunakan logat atau dialek Jawa atau Jakarta (Betawi). Salah satu dampak ketika anak-anak belajar budaya luar, perlahan menghilangkan budaya sendiri.
“Harapan dan catatan khusus, ke depan kita akan membenahi supaya agenda seperti ini menjadi lebih baik. (Kurangnya partisipasi) Mungkin hanya dikarenakan mis komunikasi atau kurangnya komunikasi saja. Teruntuk panitia, ke depan supaya bisa menyosialisasikan kepada publik atau masyarakat luas, agar supaya siapapun mereka dapat memahami arti dan makna akan apa yang kita laksanakan saat ini. Sesuatu yang mulia untuk kebesaran nama Tuhan,” tutup Kapoh.