Penulis: Hendro Karundeng
ELEKTORAL.ID, Tomohon – Di hari yang cerah, ketika denyut kota kian cepat dan langit Sulawesi membentang biru, sebuah kabar besar menggema. Kodam XXIII akan segera berdiri, membentang dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Barat. Bukan sekadar restrukturisasi militer, kehadiran Kodam baru ini adalah kabar harapan juga sebuah simbol pelindung yang lahir dari rahim sejarah dan kebudayaan lokal.
Nama yang dipilih ialah Palaka Wira. Dalam bahasa Sanskerta, Palaka berarti penjaga atau pemelihara, Wira berarti kesatria. Sebuah nama yang sederhana, namun memiliki makna yang dalam yaitu Kesatria Pelindung.
Kodam XXIII lahir dari pemekaran dua kekuatan besar, Korem 132/Tadulako di Sulawesi Tengah yang sebelumnya di bawah Kodam XIII/Merdeka, dan Korem 142/Tatag di Sulawesi Barat yang semula berada di bawah Kodam XIV/Hasanuddin. Kini, dua wilayah ini disatukan dalam satu komando, satu semangat, satu tekad seperti mottonya Dwi Eka Sakti, yang berarti menyatukan dua kekuatan menjadi satu kesatuan yang kokoh.
Tak Lahir Dari Ruang Hampa
Palaka Wira menyerap nyawa perjuangan dua tokoh besar dari tanah Sulawesi, Tombolotutu dan Hajjah Andi Depu.
Tombolotutu, Raja Parigi, dikenal karena keteguhan sikapnya menolak kolonialisme Belanda. Dalam bahasa Kaili, “Tombolotutu” berarti raja yang tak goyah. Ia berdiri di garis depan membela rakyatnya dari penindasan pajak dan monopoli, hingga akhirnya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2011.
Sementara itu, dari Mandar, berdiri Hajjah Andi Depu, satu-satunya maharani yang dikenal karena keberaniannya mengibarkan Merah Putih di tengah ancaman Jepang. Ia bukan sekadar bangsawan, tapi pemimpin perlawanan, pada 2018, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional, menjadi simbol kekuatan perempuan Sulawesi Barat.
Bukan Sekedar Papan Nama
Menurut Rikson Karundeng, peneliti budaya dari Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, pemilihan nama Palaka Wira bukan keputusan serampangan. “Dalam wilayah yang majemuk seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, nama adalah jembatan yang menghubungkan semua identitas,” ujarnya.
Nama ini, kata Karundeng, bukan sekadar papan nama, ia adalah doa, semangat, dan amanah. “Prajurit Kodam XXIII harus menghidupi nama ini. Menjadi kesatria yang benar-benar menjaga rakyatnya,bukan hanya dengan senjata, tapi dengan hati,” tambah Rikson.
Bagi rakyat Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, berdirinya Kodam XXIII/Palaka Wira adalah babak baru. Ia bukan hanya menandai perubahan struktur, tapi juga janji baru, bahwa keamanan dan kedamaian akan dijaga oleh mereka yang paham nilai, budaya, dan sejarah tempat mereka berpijak.
Dalam seragam loreng para prajurit, kini hidup semangat para pahlawan. Dalam derap langkah pasukan, bergema janji kesatria. Palaka Wira bukan hanya nama,ia adalah cermin. Cermin yang mengingatkan bahwa tentara bukan sekadar penjaga perbatasan, tapi juga penjaga hati rakyat.