Penulis: Lefrando A. Gosal
Editor: Rikson Karundeng
ELEKTORAL.ID, Jakarta – Gelombang penolakan terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 terus meningkat. Berbagai kajian disampaikan ke pemangku kebijakan untuk menunda pilkada yang ditetapkan 9 Desember 2020 itu.
Desakan datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka tegas menyampaikan agar Pilkada 2020 sebaiknya tidak dipaksakan, karena terbukti belum siap.
“Kami mendesak agar KPU (Komisi Pemilihan Umum) memutuskan kembali untuk menunda Pilkada 2020 dengan persetujuan DPR dan pemerintah. Kondisi pandemi yang belum juga mereda, serta persiapan kelanjutan pilkada di tengah pandemi yang masih jauh dari matang, hanya akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari,” tulis Fadli Ramadhanil, Manajer Program Perludem lewat siaran pers, baru-baru ini di Jakarta.
Menurutnya, bagaimana mungkin anggaran pengadaan alat protokol kesehatan dan biaya tambahan untuk penyelenggaraan pilkada sebagai konsekuensi dari penambahan tempat pemungutan suara (TPS) masih belum dapat dipastikan, sementara tahapannya akan dimulai pada 15 Juni 2020.
“Jika melacak keyakinan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk segera memulai kembali tahapan pilkada, ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi langsung oleh para pemangku kepentingan kepemiluan ini,” lanjut Fadli.
Fadli mempertanyakan, apakah cukup waktu untuk mengadakan alat protokol kesehatan dan pelindung diri dalam jumlah banyak dalam waktu 11 hari, sementara tahapan pilkada tidak mungkin dilaksanakan tanpa alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu.
Termasuk juga usulan yang disampaikan oleh Komisi II DPR, bahwa alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu langsung diberikan dalam bentuk barang. Jadi tidak perlu mekanisme tahapan pengadaan sendiri.
“Apakah sudah tersedia alat pelindung diri dalam bentuk barang langsung yang akan diserahkan ke penyelenggara tersebut?” kata Fadli.
Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab secara komprehensif oleh DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu. “Jawaban atas pertanyaan tersebut juga nanti yang akan mengonfirmasi, bahwa persiapan melanjutkan tahapan Pilkada 2020 tidak bisa hanya bermodalkan semangat, tekad, dan keyakinan saja,” pungkasnya.
Diketahui, kesimpulan rapat antara Komisi II DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada Rabu, 3 Juni 2020 mengungkap fakta penting. Anggaran untuk biaya pelaksanaan Pilkada 2020 dengan protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19 belum juga ada. Sementara itu, pada kesempatan rapat tersebut KPU mengajukan usulan tambahan anggaran Pilkada 2020 sampai dengan sebesar Rp. 5 triliun.
Rapat tiga pihak tersebut selanjutnya menghasilkan tiga kesepakatan. Pertama, sehubungan dengan pilkada dengan protokol Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), diperlukan penyesuaian kebutuhan barang dan atau anggaran, serta penetapan jumlah pemilih per TPS) maksimal 500 orang.
Kedua, terkait penyesuaian kebutuhan tambahan barang dan atau anggaran untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, disetujui dapat dipenuhi juga melalui sumber APBN, dengan memperhatikan kemampuan APBD di daerah masing-masing. Terkait hal ini, akan segera diadakan rapat kerja gabungan antara Mendagri, Menteri Keuangan, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan penyelenggara pemilu.
Ketiga, agar terjadi efisiensi dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, Komisi II DPR RI meminta penyelenggara pemilu untuk melakukan restrukturisasi anggaran yang dialokasikan untuk setiap tahapan pilkada. Restrukturisasi anggaran tersebut mesti diserahkan kepada Komisi II DPR RI dan Kemendagri sebelum rapat kerja gabungan diadakan.
Kesimpulan rapat juga menggambarkan secara terbuka bahwa anggaran tambahan untuk pengadaan alat kesehatan bagi penyelenggara pemilu masih akan dibicarakan kembali dengan Menteri Keuangan. (*)