Penulis: Rikson Karundeng
Editor: Lefrando Gosal
ELEKTORAL.ID, Jakarta – Grafik dinasti politik di Indonesia terus meningkat. Kondisi itu kini dilihat sebagai sebuah persoalan serius. Fakta tersebut dikupas tajam dalam diskusi dalam jaringan (daring) bertajuk ‘Pilkada Serentak 2020: Pesta Dinasti Politik’ yang digagas Komite Pemilih Indonesia (TEPI), Kamis (30/7).
Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI), Angel Damayanti, Ketua Minat Tata Kelola Pemilu Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Daud Liando, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, dan Koordinator Nasional (Kornas) TEPI, Jeirry Sumampow, dihadirkan untuk membahas topik tersebut.
Diskusi diawali pemaparan sebuah hasil penelitian yang dilakukan TEPI, oleh peneliti TEPI Beril Huliselan, yang secara langsung memandu diskusi ini. Beril menyebutkan, sejak pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015, 2017 dan 2018, ada 80 wilayah di Indonesia yang terpapar dinasti politik. Kepala daerah terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik.
“Penelitian ini juga mengungkap, 99 orang anggota DPR RI periode 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik. Ini hasil penelitian Nagara Institute. Kalau kita masuk ke DPRD-DPRD di provinsi, kabupaten dan kota, pasti kita akan menemukan juga fakta seperti ini,” katanya.
Data penelitian itu juga mengungkap, pada Pilkada 2020 ini ada sejumlah wilayah di Indonesia yang terpapar dinasti politik. Termasuk di Solo, Jawa Tengah, dimana putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming dicalonkan untuk maju bertarung. Ada juga pilkada Medan, Sumatera Utara, tempat menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution akan maju sebagai calon kepala daerah. Selain itu, di pilkada Tanggerang, Banten, akan menghadirkan Siti Nur Azizah, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai salah satu kandidat.
“Kondisi indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan di 2010-2019. Di Asia Tenggara, level kita berada jauh di bawah Timor Leste, Malaysia dan Filipina. Faktor yang berkontribusi bagi penurunan indeks demokrasi di Indonesia adalah, kebebasan sipil yang menyempit, intoleransi yang menguat, populisme, korupsi dan oligarki atau dinasti politik,” papar Huliselan.
Angel Damayanti yang diberi kesempatan pertama untuk menanggapi topik yang dibahas, menjelaskan tetang hakekat demokrasi, kesetaraan dan pilkada sebagai salah salah satu poin dari demokrasi. Ia pun mencontohkan praktek politik dinasti yang terjadi di berbagai belahan dunia.
“(Masalahnya) rekam jejak calon kepala daerah itu, apakah selama ini sudah punya achievement-achievement (pencapaian) yang punya nilai positif, rekam jejak positif di masyarakat. Masyarakat bisa menilai, bisa mengidentifikasi dengan baik. Terpenting tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dari pejabat, gubernur, bupati atau wali kota yang anaknya, istrinya, keluarganya akan maju dalam pilkada. Parpol harusnya sudah bisa menscreening calonnya,” kata Angel.
Arif Susanto menyebutkan, politik jaringan sampai saat itu belum berlawanan dengan demokrasi. Jadi masalah dan bertentangan dengan demokrasi ketika itu dilakukan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
“Pertama, prinsip kesetaraan. Berikut fairness (keadilan), transparansi. Politik dinasti itu bersifat tertutup, lebih memilih saudara bukan karena dia punya kemampauan lebih baik. Politik dinasti tidak punya pertangungjawaban ke publik,” ujarnya.
Ferry Daud Liando mengatakan, dinasti politik yang jadi topik diskusi ini merupakan sesuatu yang tidak dilarang oleh undang-undang.
“Apa sebetulnya yang harus dipersoalkan ? Sebetulnya kalau kelembagaan parpol (partai politik) kita bagus, tidak akan ada yang mempersoalkan itu. Kebanyakan ciri-ciri dinasti politik ini, sistem merit politik (kebijakan dan manajemen berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan ras, agama, asal usul, jenis kelamin, maupun kondisi kecacatan) tidak jalan, kekerabanan sosial kadang-kadang terbatas, organisasi-organisasi kemasyarakatan terbatas,” ujarnya.
“Kan kita tau kalau anak pejabat modelnya apa sih ? Hidup dalam kemewahan, hidup dalam zona nyaman. Kadang-kadang apa yang menjadi kebutuhan publik tidak dijangkau. Nah, tiba-tiba mau jadi seorang pemimpin. Ini yang jadi persoalan,” sambung Liando.
Sementara, Ray Rangkuti bicara tegas soal politik dinasti. Menurutnya, kini tidak boleh lagi lembut dengan politik dinasti karena Indonesia sudah di ‘titik merah’. Diakui, regulasi memungkinkan dan tidak melarang terjadinya politik dinasti namun ini persoalan etika.
“Dinasti politik bukan boleh atau tidak boleh tapi soal etik tidak etik, adil tidak adil, bermanfaat atau tidak, baik atau tidak. Pak Harto berkuasa 32 tahun juga tidak dilarang. Konstitusi tidak melarang tapi kita melihat praktek itu tidak baik. Kita tidak main-main, sekarang praktek politik dinasti lagi naik grafiknya, baik di eksekuitif maupun legislatif. Jadi jangan melemah hati untuk memberikan kesempatan politik dinasti langgeng,” tandasnya.
Di bagian akhir, Jeirry Sumapow menegaskan jika hingga kini tidak ada undang-undang, regulasi yang melarang praktek dinasti politik, tapi gerakan perlawanan terhadap praktek tidak baik itu harus diperkuat.
“Kita tidak sedang melarang konsepsi HAM yang melarang orang untuk dipilih, tapi kita juga harus menyadari ada bahaya dengan politik dinasti,” tegas Sumampow.
Menurutnya, di Indoensia kini demokrasi sedang dikembangkan dan sudah banyak analiasis, pendepat dan opini yang mengatakan memang demokrasi kita dibajak oleh para elit sehingga politik oligarkis semakin kuat. Di dalam ini, dinasti politik berperan penting.
“Kalau masyarakat makin oligarkis, elit tertentu yang akan menjadi dominan, tidak saja dalam jabatan-jabatan kekuasaan yang ada, juga dalam konteks membangun opini publik,” tuturnya.
“Dalam dimensi seperti ini, dinasti politik lama-kelamaan menjadi biasa. Orang semakin merasa ini sesuatu yang betul, atau bahkan menjadi sesuatu yang seharusnya dalam konteks demokrasi. Ini yang berbahaya dari tendensi demokrasi yang sekarang kita lihat,” kata Sumampow.
Karena itu menurutnya, harus ada yang mampu membelokkan kondisi itu agar publik terdidik, publik awareness (memiliki kesadaran).
“Harus ada upaya untuk menghentikan itu (praktek dinasti politik),” tegasnya. (*)