Penulis: Imo Si Jurnalis Muda
Editor: Happy Karundeng
______________________________________________
Elektoral.id, Tangerang – Pengadilan Negeri Tangerang kembali menggelar Persidangan Kasus Penipuan dan Penggelapan Kondotel Grand Eschol Residence PT Mahakarya Agung Putera Nomor Perkara 91/Pid.B/2021/PN.TNG dengan terdakwa Hendra Murdianto.
Agenda sidang menghadirkan dua saksi yang meringankan yakni BYP, salah satu korban PT Mahakarya Agung Putra (MAP). Pengakuan BYP, bahwa proyek mangkrak tersebut merupakan hal yang biasa dalam berinvestasi. Ia mengaku pernah ditawarkan oleh para korban lainnya untuk bergabung dalam kelompok untuk meminta pengembalian uang terhadap pembelian apartemen secara penuh.
Setelah ditelaah JPU dan majelis hakim ternyata BYP mengakui baru melakukan pembayaran DP sebesar 30% dari 2 unit yang dipesannya. Ia juga pernah mendapat hadiah ponsel dari terdakwa Hendra atas pembelian awal 4 unit namun BYP memutuskan untuk membeli 2 unit saja.
“Saya pernah mendengar ceritanya dari saudara terdakwa, namun tidak mengetahuinya secara langsung terkait kejadian tersebut,” kata BYP yang memberi kesaksian, Selasa (14/9).
Ia mengatakan karena banyaknya kepentingan internal, banyak investor mundur untuk melakukan kerjasama dengan PT MAP. Selain itu saksi lainnya yang dihadirkan yakni Dwi Seno Wijarnako, seorang ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara.
“Ahli, Dalam suatu surat dakwaan yang memuat lebih dari satu dakwaan, dan ternyata ditemukan bahwa salah satu dakwaan tersebut telah dihapus ketentuannya oleh pemerintah. Pertanyaanya : Apa akibat hukum terhadap surat dakwaan yang demikian ?” tanya pengacara terdakwa H.Onggo.
Menanggapi pertanyaan tersebut Ahli Pidana menerangkan, “Menurut Pendapat saya, kalau sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya pasal yang didakwakan terhadap terdakwa seharusnya mengakibatkan dakwaan JPU tak jelas atau kabur (obscuur libel). Berdasarkan asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada’’ selain itu juga terdapat asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP ‘’Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa ditetapkan ketentuan yang paling menguntungkan’’. Artinya menurut pasal ini Hakim wajib menjatuhkan putusan meringankan bahkan membebaskan terdakwa, sebab hakim tak bisa memberikan vonis karena ketentuan pasal sudah dicabut. Seseorang tidak boleh dihukum karena perbuatan bukan tindak pidana lagi atau tiada aturan hukumnya,” Seno menjelaskan.
Onggo juga menanyakan kepada Ahli Pidana Apakah akibat hukum tersebut berlaku hanya pada salah satu ketentuan dakwaan tersebut atau terhadap seluruh surat dakwaan tersebut?
“Akibat hukum tersebut menjadi satu kesatuan dengan seluruh dakwaan. Artinya menurut ketetuan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dengan tegas meyatakan bahwa JPU didalam membuat dakwaan harus secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Akibat nya menurut pasal 143 ayat (3) KUHAP dengan tegas surat dakwaan yang tidak lengkap memuat syarat materiil dakwaan mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum,” jawan Seno.
Sidang yang berlangsung di Ruang 3 PN Tangerang itu berlangsung cukup panjang. Sempat terjadi perdebatan antara ahli pidana dengan majelis hakim mengenai pernyataan saksi ahli, namun pada akhirnya Seno sependapat dengan hakim soal laporan yang dilakukan secara kumulatif.
Lagi jelasnya tentang tindak pidana pencucian uang. “Menurut pendapat saya, didalam Ketentuan pasal 1 angka 7 pada BAB I ketentuan Umum UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berbunyi ‘’Pemeriksaan adalah Proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan secara independent, objektif dan professional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana. Untuk itu maka di Pasal 1 angka 2 adalah Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah Lembaga Independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang,” Seno menuturkan.
Lebih lanjut Ahli dari Universitas Bhayangkara tersebut juga Menerangkan Ketentuan Pasal 1 angka 11 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan Pihak Pelapor adalah setiap orang yang menurut Undang-undang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. Kata wajib dalam UU ini adalah merupakan suatu keharusan yang harus dijalankan. Tidak dapat dialibikan ataupun dengan alasan apapun.
“Pasal 74 dalam rangka penyidikan TPPU, penyidik harus berkoordinasi dengan PPATK, JPU pun demikian di pasal 76 jadi jika tidak ada surat keterangan analisa atau audit, audit dari PPATK bekenaan dengan suatu kerugian artinya bagaimana terpenuhinya materiil dan formil,” kata Seno.
“Menurut saksi ahli dakwaan yang belum memiliki audit dari PPATK tidak boleh dimasukan dalam dakwaan. Pernyataan ini berbanding terbalik dengan pernyataan Saksi Ahli yang dihadirkan JPU pada persidangan sebelumnya,” hakim menegaskan.
Dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan perihal adanya penyimpangan dana yang dilakukan terdakwa yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan kepada Ahli, “Kalau alokasi dana yang disampaikan kepada kita secara pribadi digunakan dengan alokasi yang berbeda, tentu itu merupakan perbuatan melawan hukum yang bisa ditarik keranah pidana,” jawab Seno. (Imo)