Elektoral.id, Jakarta – Sidang sengketa informasi PT Bumigas Energi (BGE) menghadirkan saksi ahli mantan pegawai KPK Nanang Farid Syam. Keterangan ahli tersebut seputar tugas pokok Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Majelis Sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) mempertanyakan dasar KPK melakukan penelusuran informasi perbankan. Pertanyaan dipertegas oleh Anggota Majelis KIP Samratunnajah mengenai batasan-batasan Deputi Pencegahan KPK dalam membantu memberikan informasi perbankan kepada PT Geo Dipa Energi (GDE)
“Dari paparan ahli, seakan-akan sudah mengetahui kondisi masalah ini dengan menyebutkan ketika bicara BUMN bisa BUMN dalam arti perbankan, pemberi proyek di luar Geo Dipa, atau Geo Dipa-nya. Jadi intinya di Geo Dipa ya,” kata Samratunnajah dalam sidang di Kantor KIP Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Anggota Majelis KIP lainnya Rosvita mempertanyakan tupoksi Deputi Pencegahan KPK melakukan penelusuran informasi perbankan ke HSBC Indonesia maupun HSBC Hongkong. Nanang pun menjawab bahwa KPK diharamkan apabila masih ranah Deputi Pencegahan.
“Tidak boleh. KPK itu hanya bisa meminta informasi rekening atau perbankan itu ketika dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Makanya saya tadi sebelumnya mengatakan non sense,” tegas Nanang menjawab di persidangan.
Menurut saksi ahli yang sudah 15 tahun bekerja di KPK itu bahwa terbilang aneh apabila Deputi Pencegahan KPK melakukan penelusuran, penyelidikan, dan penyidikan yang seharusnya dilakukan Deputi Penindakan KPK. “Menurut saya agak aneh,” ucapnya.
Sepengetahuan ahli dalam persidangan, berdasarkan surat KPK No B/6004/LIT.04/10-15/09/2017 yang dikeluarkan Pahala Nainggolan berdampak PT BGE tidak bisa melanjutkan bisnis bahkan mengalami kerugian. Oleh karena itu, lanjut Nanang, wajar bagi pihak yang merugi meminta klarifikasi kepada KPK.
“Wajar enggak kalau saya punya uang maka saya bertanya kenapa usaha saya dihentikan apalagi yang menghentikan Deputi Pencegahan KPK,” jelasnya.
Menurut pandangan ahli, permohonan PT BGE kepada KPK hanya sekedar meminta klarifikasi dasar KPK mengeluarkan surat di tahun 2017 itu yang telah mematikan bisnis BGE yang sudah berjalan dari tahun 2000-an. “Surat ini muncul setelah PT Geo Dipa memenangkan perkaranya di kasasi MA. Jadi menurut saya, ini ada persaingan bisnis,” kata Nanang.
Majelis Rosvita menanyakan apakah penerbitan surat tersebut adalah kewenangan Deputi Pencegahan KPK. Selain itu, kewenangan KPK meminta informasi perbankan dan berujung surat tersebut dikeluarkan. “Sepengetahuan saya KPK ini bisa minta data informasi perbankan ketika dimulainya penyelidikan, penyidikan, dan di luar dari itu tidak boleh,” Nanang menuturkan.
Jawaban saksi ahli itu membuat ketua majelis mengerti dan menjadikan sebagai poin penting dalam persidangan. Ketua majelis mengatakan dampak surat Pahala yang bukan menjadi tugas pokok Deputi Pencegahan KPK justru merugikan entitas bisnis bagi PT BGE. Bahkan peristiwa tersebut belum pernah dialami selama Nanang bekerja di KPK. “Di zaman saya tidak ada,” jawab Nanang.
Pihak PT BGE berkesempatan bertanya kepada ahli terkait ada atau tidaknya mekanisme permohonan bantuan klarifikasi dari entitas bisnis yakni PT GDE kepada KPK. “Sepengetahuan saya tidak ada. Kalau pun ada itu seharusnya dari antar penegak hukum,” Nanang menjawab.
Pemohon kembali menanyakan soal produk konkrit dari sebuah tindakan pencegahan yang seyogyanya dilakukan Deputi Pencegahan KPK. “Kalau di pencegahan KPK itu lebih banyak melakukan MoU dengan lembaga lain kemudian membantu mereka membangun sistem yang akuntabel, sistem yang transparan terkait masalah korupsi. Tapi tidak dalam konteks menghentikan entitas bisnis,” tegas saksi ahli.
Saksi ahli itu mengaku bahwa KPK telah banyak mengeluarkan surat di masing-masing kedeputian kepada pihak eksternal KPK yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kemudian KPK sebenarnya diharamkan meminta informasi perbankan swasta di luar dari penindakan. “Tidak boleh. Itu hanya boleh dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” ucapnya.
Menurut Nanang, unsur-unsur penindakan yang bisa dilakukan KPK yakni adanya peristiwa korupsi yang meresahkan masyarakat, lalu kerugian negara di atas Rp 1 miliar, kemudian keterlibatan penyelenggara negara atau penegak hukum di dalamnya. “Kalau tidak ada unsur-unsur itu KPK tidak bisa menjalankan tugasnya apalagi pencegahan,” ia menambahkan.
Dari seluruh keterangan saksi ahli tersebut tidak ada yang disangkalkan oleh pihak termohon yakni KPK, bahkan mereka hanya terduduk diam. Sidang lanjutan akan berlanjut 3 minggu ke depan dengan agenda putusan. (ANG)