Penulis: Hendro Manongko
Editor: Filo Karundeng
ELEKTORAL.ID, Tomohon – Wacana amandemen UUD 1945 diharapkan tidak hanya sebatas untuk memuluskan agenda politik jangka pendek kelompok tertentu. Namun, amandemen UUD 1945 sebaiknya harus dibarengi dengan tujuan mulia penyempurnaan sistem pemerintahan dan konsolidasi demokrasi yang merepresentasikan institusionalisasi keterwakilan yang kuat. Hal itu mencuat dari agenda Focus Group Discussion (FGD) Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) MPR RI di Tangerang, Selasa (07/09/2021).
FGD yang hanya terbatas menampilkan 3 orang anggota DPD RI/MPR RI serta pakar politik dan hukum ini berlangsung menarik. Lebih dari 4 jam para Senator maupun pakar ikut menyampaikan gagasanya, termasuk anggota DPD RI/MPR RI Ir. Stefanus BAN Liow, M.A.P.
Dalam ulasannya, mantan Ketua Komisi P/KB Sinode GMIM ini mengatakan, DPD RI adalah kanal aspirasi daerah. Artinya, secara representatif, DPD RI inilah wajah dari NKRI. Esensi demokrasi perwakilan hanya akan bisa dicapai, jika DPD RI punya kewenangan memadai. Peran DPD RI juga bahkan merefleksikan perhatian pada pembangunan daerah dan NKRI.
Senator SBANL yang juga pimpinan kelompok DPD RI di MPR ini mengatakan, penguatan kewenangan DPD RI akan semakin memperkuat sistem demokrasi di Indonesia.
“Parlemen semestinya melahirkan produk hukum dari dialektika yang kaya dan perdebatan mendalam. Sehingga, produk UU menjadi kuat dan representatif guna menampung berbagai aspirasi yang mencuat dari denyut kehidupan rakyat,” kata Senator SBANL.
Hal senada juga disampaikan pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Siti Zuhro. Ia mendorong wacana amandemen UUD 1945 untuk tujuan penataan dan penguatan demokrasi. Salah satu yang mendapat sorotan yaitu kewenangan DPD RI yang dinilai tanggung dan agak ironis.
“Sistem bikameral untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah yang berbeda-beda. Kewenangan representasi daerah mestinya lebih besar, tapi justru terjadi sebaliknya. Lembaga legislatif, tapi minim kewenangan legislatif,” imbuh Siti Zuhro.
Selain di sektor legislatif, menurut Profesor Siti Zuhro, amandemen kelima UUD 1945 harus juga diarahkan ke ranah eksekutif. Yaitu, membuka ruang partisipasi kontestasi kepemimpinan yang seluas-luasnya untuk menjaring pemimpin terbaik bagi republik. Esensi pemilu adalah menyajikan kompetisi yang sehat, beradab dan promotif terhadap lahirnya pemimpin terbaik. Sehingga menjadi sangat relevan untuk meninjau kembali presidential threshold dan mendorong calon presiden independen.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr. Ubedilah Badrun mengimbuhkan, gabungan anggota DPD RI semestinya diberi ruang mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Karena secara komparatif, suara DPD RI sudah melampaui ambang batas pencalonan yang diberikan kepada partai politik sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR RI sebelumnya.
Di sisi lain, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr. Hafid Abbas yang juga hadir sebagai narasumber menyoroti terjadinya keterbelahan sosial yang semakin meruncing dan mengakibatkan pelapukan dari dalam. Mantan Ketua Komnas HAM ini menilai, sistem politik saat ini melanggengkan ketimpangan dan menimbulkan beragai problem sosial, karena sejak awal rekrutmen tidak representatif. Hanya mengakomodir kelompok tertentu.
Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Margarito Kamis mendorong DPD RI memperkuat peran dengan aktif mengangkat isu-isu daerah. Menurutnya, situasi politik yang membuat DPR RI melempem, justru jadi kesempatan bagi DPD RI menunjukkan jika ada kamar lain di parelemen yang berjuang untuk rakyat.
Selain Senator SBANL, hadir juga dalam FGD tersebut, anggota DPD RI/MPR RI, Aji Mirna, S.T., M.M., Prof. Dr. Siti Zuhron (Peneliti LIPI), Prof. Dr. Hafid Abbas (Guru Besar UNJ/Mantan Ketua Komnas HAM), Dr. Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara), Dr. Ubedilah Badrun (Analisis Politik UNJ) dan Drs Wahidin (Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI). (*)