Revisi UU Pemilu Tersandera Kepentingan Politik

Penulis: Lefrando Andre Gosal
Editor: Rikson Childwan Karundeng


ELEKTORAL.ID, Manado – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sulawesi Utara (Sulut) menggelar diskusi bertajuk “Polemik revisi UU Pemilu: kepentingan siapa?” Kegiatan ini digelar di kantor Penghubung Komisi Yudisial Provinsi Sulawesi Utara, Sabtu (20/02), Audy Wuisang, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) mengurai aspek penting demokrasi, hambatan dan kebutuhan penataan kembali desain pelaksanaan Pemilu.

Tersandranya revisi UU Pemilu, menurut Wuisang, terjadi karena benturan kepentingan politik. Baginya, pihak-pihak tertentu akan sangat kerepotan dan sangat terganggu jika dilakukan Pemilu 2022 dan 2023. Ini yang melatari kebutuhan penataan pelaksanaan Pemilu yang substantif, tidak lagi menjadi komitmen yang mendasari dilakukannya revisi.

“Banyak yang berkepentingan dan banyak yang berusaha untuk menjegal supaya tidak dibuka terlalu besar dan terlalu lebar siapa-siapa yang mungkin ikut bertarung di tahun 2024. Ini kepentingan yang sangat politis. Karena itu, desain apapun dan bagaimanapun, pasti di legislator yang menjadi pertimbangan utama dan yang akan menjadi pertarungan berat di sana adalah menutup peluang orang-orang di luar sistim untuk ikut bertarung di tahun 2024, terutama pemilihan presiden,” kata Wuisang.

Ia menjelaskan, sesungguhnya ide revisi UU Pemilu sangatlah masuk akal dan bahkan sangat dibutuhkan. Penataan harus dilakukan dalam komitmen menata demokrasi elektoral Indonesia menjadi lebih baik. Menurutnya, Pemilu 2024 dengan format dan desain sekarang sangatlah rumit. Ditambah lagi pengalaman Indonesia dalam Pemilu 2019 yang menelan banyak korban.

“Bisa dipastikan korban-korban akan berjatuhan lagi seperti Pemilu 2019. Apalagi belum ada jaminan Covid-19 akan selesai karena diproyeksikan 10 tahun karena ketiadaan uang, biayanya besar untuk vaksin,” jelas Wuisang.

Namun demikian, menurutnya, sampai sekarang proses pelaksanaan Pemilu di Indonesia selalu mengalami perubahan-perubahan dalam waktu yang pendek, dengan pengalaman yang sedikit, kemudian dilakukan penataan dan dilakukan berulang-ulang sejak tahun 1999. Perubahan tersebut dilakukan atas pertimbangan politik untuk melanggengkan kekuasaan.

“Sistim pelaksanaan Pemilu kita terus mengalami perubahan karena memang itu disesuaikan dengan perkembangan pemikiran politik dan kepentingan partai-partai yang sedang berkuasa. Jadi sebagian besar, tidak terutama didasarkan atas pertimbangan penataan untuk perbaikan-desain lembaga politik lebih demokratis, tapi terutama pelanggengan kepentingan-kepentingan politik parpol yang berkuasa di DPR RI,” terangnya.

Di tengah kemunduran demokrasi Indonesia, Wuisang menilai revisi UU Pemilu harus mengacu juga pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55 tahun 2019, yang mengusulkan atau mempertimbangkan 5 model keserentakan Pemilu akibat rumitnya pelaksanaan pemilu kita di tahun 2019.

“Sesungguhnya, putusan MK ini menjadi salah satu jalan masuk untuk melakukan penataan kembali terhadap UU Pemilu kita. Jika itu yang menjadi alasan utama dalam revisi UU pemilu, sebetulnya itu sangat masuk di akal,” katanya.

Dalam revisi UU Pemilu, Wuisang menegaskan perlu untuk mempertimbangkan bahwa sejak 1999, revisi UU Pemilu dilakukan terus-menerus. Untuk itu, revisi ini memerlukan waktu yang cukup serta sosialisasi yang masif.

“Banyak sekali kerumitan yang mebutuhkan waktu, terutama bagi masyarakat yang secara psikologi dan secara kultural mampu menerima perubahan-perubahan pelaksaan pemilu ke depan. Semua itu harus diatur dan ditata tetapi perlu berpikir panjang, karena kalau tidak maka yang akan terjadi adalah penataan itu akan menjadi arena pertarungan politik dari mereka yang berkepentingan untuk menguasai negeri ini di tahun 2024,” jelas Wuisang.

Menurutnya, sangatlah penting revisi UU Pemilu. Karena jika tidak dilaksanakan revisi, Indonesia akan berhadapan dengan persoalan yang lebih besar. Namun di satu sisi, dalam revisi perlu ada komitmen penataan demokrasi yang lebih baik.

“Penataan kembali dan revisi itu sangat penting untuk meletakan landasan yang lebih baik atau menata lebih baik Pemilu Indonesia ke depan, termasuk pilkada. Karena kalau tidak, kita akan berhadapan dengan persoalan yang lebih berat dan lebih besar dari tahun 2019. Sayangnya upaya untuk melakukan penataan itu tersandera oleh pertarungan politik memperebutkan kursi-kursi untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden pada tahun 2024,” tandasnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini