Parpol Tentukan Kualitas Pilkada, Liando: Jangan Usung Calon Karena Mahar


Penulis: Anugrah Pandey
Editor: Rikson Karundeng


ELEKTORAL.ID, Manado – Ada gelisah menghantui, kualitas pesta demokrasi di ujung tahun ini kans ‘di bawah’. Namun ada juga nada optimis publik yang membuncah.

Sebuah pendapat mengalir. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 dalam kondisi pandemi, bisa saja akan memiliki kualitas apabila partai politik (parpol) bekerja dengan baik.

Menurut Dr. Ferry Daud Liando, hal yang bisa dilakukan parpol adalah calon yang diusung benar-benar karena kemampuan dan kapasitas. “Tidak karena mengandalkan mahar dari calon yang hendak diusung,” tutur Liando.

Jika akhirnya calon yang diusung parpol karena mahar, maka potensi yang terjadi adalah pertama, jika hulunya buruk maka proses hingga hilirnya akan terdampak (garbage in, garbage out).

“Karena parpol memaksakan mencalonkan seseorang yang tidak bereputasi dan tidak bermoral akibat mahar, maka secara otomatis tak akan ada penerimaan publik atasnya,” jelas peneliti isu-isu kepemiluan di Indonesia ini.

Namun demikan, Liando menilai politisi licik selalu saja punya cara bagaimana meracuni akal sehat pemilih.

“Himpitan ekonomi masyarakat akibat Covid-19 akan menjadi peluang dan alasan pembenaran baginya untuk menghipnotis pemilih dengan harta benda yang dimilikinya,” kata Liando.

Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa politisi yang memiliki harta kekayaan besar dan kerap membagikannya, sebagian besar adalah hasil korupsi.

Kedua, legitimasi atas keterpilihannya tidak akan kuat, sebab pemilih yang memilihnya bukan atas dasar suka atau percaya, tetapi atas dasar intimidasi politik uang (vote buying) yang dilakukan calon.

“Itulah sebanyak banyak kepala daerah yang setiap kebijakan yang dibuatnya selalu mendapat penolakan publik,” sebut Liando.

Ketiga, jika kepala daerah yang terpilih karena menyogok parpol dan pemilih, maka kualitas dan kemampuannya sangat terbatas.

“Tata kelola pemerintahan tidak optimal, dan pelayanan publik menjadi buruk. Gaya kepemimpinan tidak akan kooperatif dan cenderung otoriter. Itulah sebabnya hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harmonis walau belum setahun menjabat,” papar Liando.

Menurutnya, aparatur profesional dan berkualitas biasanya dibabat habis kepala daerah demikian karena tidak mau ‘bekerja sama’ mengakali APBD, kemudian digantikan dengan aparat berkarakter pencuci tangan dan pencari muka meski minim pengalaman. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini