Liando: Tiga Opsi Pilkada Serentak Semua Beresiko

Ferry Liando

ELEKTORAL.ID, Manado – Pilkada serentak 23 September 2020 dipastikan ditunda. Tiga opsi ditawarkan oleh penyelenggara Pemilu, 9 Desember 2020, 17 Maret 2021 atau 29 September 2021. Apapun keputusan yang diambil, dipastikan tentap memiliki resiko.

Pendapat itu ditegaskan peneliti isu-isu kepemiluan di Indonesia, Ferry Daud Liando. Jika pesta demokrasi ini dipaksakan akhir tahun ini, menurutnya ada dua kesulitan yang akan dihadapi.

“Dari tiga opsi yang ditawarkan KPU, pilihan opsi apapun, sepertinya tetap akan memiliki resiko. Jika dilaksanakan pada Desember 2020 maka kemungkinan besar akan memiliki kesulitan pada dua hal, yakni pembiayaan penyelenggaraan dan volume kerja penyelenggara,” kata Liando.

Dijelaskan, salah satu kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) waktu lalu antara DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP RI, menyepakati Pilkada serentak 2020 ditunda, dan dana hibah dari pemerintah daerah digunakan untuk penanganan Covid-19.

“Jika Pilkada akan dilaksanakan pada Desember 2020, maka masing-masing Pemda akan kesulitan menganggarkan kembali pembiayaan Pilkada dalam APBD,” nilainya.

Akademisi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini memaparkan, setiap bulan September dan Oktober tahun berjalan, biasanya kepala daerah dan DPRD melakukan pembahasan APBD Perubahan. Namun terlalu sulit melakukan pergeseran anggaran di tahun ini karena untuk saat ini sejumlah pemerintah daerah telah melakukannya dalam rangka pembiayaan penanganan Covid-19.

“Kemudian, jika benar perkiraan pemerintah bahwa masa kritis hingga 29 Mei 2020, maka kemungkinan tahapan akan normal berjalan pada Juni 2020. Terlalu beresiko bagi penyelenggara jika harus dituntut bekerja maksimal,” tandasnya.

Liando menggambarkan, Pemilu tahun 2019 terdapat 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Salah satu penyebab karena beban dan volume kerja meningkat dibanding Pemilu sebelumnya.

“Meski akhirnya pada Juni 2020 keadaan normal kembali namun sangat diragukan apakah aktivitas bisa langsung berjalan normal. Praktis membutuhkan dua hingga tiga bulan baru memungkinkan aktivitas publik berjalan normal,” tuturnya.

“Demikian halnya dengan tahapan yang membutuhkan interaksi langsung antara penyelenggara dengan masyarakat, seperti verifikasi faktual, penyusunan daftar pemilih, sosialisasi dan aktivitas lainnya,” sambungnya.

Sementara, jika memilih opsi pada Rabu 17 Maret 2021, menurut Liando tentu tidak mungkin non tahapan dan tahapan akan terkejar dalam 2 bulan. Sebab anggaran baru bisa digunakan pada Januari 2021.

“Jika bisa dipaksakan, sebagian tahapan sudah bisa dilakukan pada Oktober 2020 dengan menggunakan angaran dalam APBD Perubahan. Namun pengalaman selama ini bahwa pembahasan NPHD tidaklah mudah,” sebut Liando.

Meski masih harus menunggu payung hukum, namun penudaan Pilkada pada September 2021 diakui adalah pilihan yang paling rasional. “Dari sisi keadilan, opsi itu sangatlah tepat. Tentu tidak sebatas pada kepentingan pemerintah daerah dan penyelenggara. Keadilan akan berpihak juga bagi semua pasangan calon kepala daerah yang akan berkompetisi pada Pilkada 2021,” terangnya.

Liando juga menjelaskan, kepala daerah yang terpilih pada Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015, sebagian besar akan mengakhiri masa jabatan pada Februari 2021.

“Dengan demikian jabatan itu akan digantikan oleh pejabat penjabat kepala daerah sampai tahapan Pilkada 2021 selesai. Tentu kompetisi ini dianggap lebih fair karena tidak diikuti para calon incumbent,” nilainya.

Ia memastikan, jika kompetisi diikuti para incumbent, Pilkada dianggap tidak adil karena incumbent kerap memanfaatkan kekuasaan dan kewenangannya dalam meraup suara.

“Mulai dari mobilisasi ASN, penggunaan APBD dan politisasi bantuan sosial (bansos). Jika ini benar-benar akan terjadi maka suasana demokrasi akan berbeda dari keadaan yang berlaku sebelumnya,” kunci Liando. (Rikson Karundeng)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini