ELEKTORAL.ID, Jakarta – Penetapan Pilkada serentak 9 Desember 2020 di tengah Pandemi Covid-19 dalam rapat konsultasi DPR, Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), menuai kritik. Salah satunya datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam siaran persnya, Perludem menilai, keputusan itu sangat mengkhawatirkan serta mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara.
“Dalam rapat konsultasi itu juga terlihat jelas, bahwa tahapan Pilkada 2020 akan dilanjutkan pada 15 Juni 2020. Jika dihitung mundur dari hari ini, artinya tahapan pilkada akan kembali dilanjutkan 18 hari lagi. Ini jelas keputusan yang sangat mengkhawatirkan,” jelas Fadli Ramadhanil, Menejer Program Perludem, dalam siaran pers yang dirilis Kamis (28/5) lalu.
Perludem sudah menduga dari awal akan adanya putusan tersebut. Pasalnya, pemerintah dan sebagian besar partai politik menginginkan tahapan pilkada tetap dilanjutkan dan pemungutan suara dilaksanakan pada Desember 2020.
“Dalam kesimpulan rapat kemarin juga disimpulkan bahwa pelaksanaan pilkada mesti mengikuti protokol kesehatan penanganan Covid-19. DPR dan Pemerintah juga meminta kepada penyelenggara pemilu untuk mengajukan usulan anggaran perubahan sebagai konsekuensi pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Merespon kesimpulan rapat tersebut, Perludem memberikan beberapa catatan. Pertama, keputusan melanjutkan tahapan pilkada di tengah pandemi Covid-19, dengan masa persiapan yang sangat sempit adalah keputusan yang mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu.
DPR, pemerintahdan penyelenggara pemilu terlihat kurang peduli terhadap kondisi faktual, bahwa hingga hari ini, jumlah korban yang terinfeksi Covid-19, bahkan korban meninggal dunia masih terus bertambah. Belum menunjukkan kecenderungan akan melandai, apalagi berakhir.
Kedua, pelaksanaan Pilkada 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah, belum memiliki kerangka hukum yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Perpu No. 2 tahun 2020 sama sekali tidak mengatur pelaksanaan pilkada yang menyesuaikan pelaksanaan tahapan yang sesuai dengan protokol penanganan Covid-19.
Artinya, pelaksanaan pilkada mesti menggunakan mekanisme normal, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Pilkada. Jika kesimpulan rapat antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu meminta pelaksanaan pilkada menggunakan protokol Covid-19, tentu dibutuhkan kerangka hukum yang cukup, adil, dan sesuai dengan pinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu demokratis. Untuk menyiapkan ini tentu dibutuhkan waktu yang cukup.
Sementara, keputusan untuk memulai kembali tahapan pilkada pada 15 Juni 2020, jelas membuat waktu mempersiapkan kerangka hukum untuk melaksanakan pilkada dengan protokol Covid-19 tidak cukup.
Akibatnya akan sangat berbahaya. Kualitas pilkada bisa menurun. Derajat keterwakilan pemilih menjadi tidak maksimal. Ini jelas bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan pilkada itu sendiri.
Ketiga, salah satu konsekuensi melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19, KPU meminta tambahan anggaran sebesar Rp. 535 miliar. Untuk proses pembahasan dan penambahan anggaran ini tentu membutuhkan waktu.
Belum lagi proses pengadaan alat pelindung diri (APD) dan perangkat lainnya untuk melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19, mesti dilaksanakan dengan mekanisme yang benar untuk menghindari terjadinya kesalahan pertanggungjawaban keuangan negara.
Satu hal yang perlu diingat oleh DPR, pemerintah, dan KPU, bahwa ketika tahapan pilkada nanti dilanjutkan, akan langsung berhadapan dengan tahapan pendaftaran pemilih, serta verifikasi dukungan calon perseorangan.
Artinya, APD dan perangkat kesehatan lainnya akan langsung digunakan dalam lebih kurang 18 hari ke depan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengadaan APD dan perangkat secara massal, distribusinya ke seluruh daerah pemilihan bisa selesai, sementara uangnya saja baru mulai mau dianggarkan.
Ini disebutkan sesuatu yang rasanya kurang rasional di dalam persiapan untuk melanjutkan tahapan Pilkada 2020.
Hal ini penting untuk diperhatikan, agar pemaksaan diri melaksanakan Pilkada 2020 tidak menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Menurut Perludem, pembelajaran dari beberapa tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemilu pada masa lalu mestinya jadi pembelajaran luar biasa untuk tidak terulang, apalagi di tengah masa pandemi dan krisis yang tengah kita hadapi. Hal itu akan sangat menciderai kemanusiaan dan martabat demokrasi kita.
Dari catatan-catatan ini, Perludem meminta agar kesepakatan penetapan Pilkada 9 Desember dapat dievaluasi kembali.
“Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus ditempatkan sebagai prioritas dalam perhelatan pilkada kita. Agar praktik demokrasi yang merupakan penghormatan pada martabat manusia melalui penghargaan pada setiap suara pemilih yang ada, tidak diciderai akibat marabahaya paparan Covid-19 yang mengancam mereka karena penyelenggaraan pilkada yang berlangsung di tengah pandemi,” tegas Fadli.
“Sudah semestinya suara elite mencerminkan suara dan kepentingan publik secara orisinil,” pungkasnya. (Lefrando Gosal)