Kembalikan Kedaulatan DPRD Pilih Kepala Daerah

Sokan Teibang


Penulis: Daniel Kaligis
Editor: Rikson Karundeng


ELEKTORAL.CO. Kupang — Panggung demokrasi pendidikan politik rakyat disorot. Pemilihan Langsung Kepala Daerah di berbagai tempat di tanah air masih menyisakan konflik usai perhelatan even itu. Walau, dikritisi, Pemilihan Kepala Daerah tetap saja digelar mengikut regulasi yang sudah disahkan pemerintah. Pemilihan Langsung Kepala Daerah untuk tahun 2020 ini memang akan dilaksanakan, dan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia telah menetapkan tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020.

Secara nasional, terkait Pemilihan Langsung Kepala Daerah, penyelenggara, dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, sementara menyusun rancang bangun aturan teknis mengenai tata cara teknis pelaksanaan protokol kesehatan dalam Pilkada 2020.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada Sembilan daerah yang akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah, yakni di kabupaten Belu, Malaka, Timur Tengah Utara, Sabu Raijua, Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Sumba Timur, dan Sumba Barat. Panggung perhelatan inilah yang disorot Sokan Teibang, Sekretaris Angkatan Muda Partai Golkar Provinsi Nusa Tenggara Timur. “Ini bukan hanya soal penghematan anggaran, namun, saya menilai, sejauh ini Pemilihan Langsung Kepala Daerah oleh orang-orang yang punya hak pilih, lebih menyisakan konflik di masyarakat,” kata Teibang pada saat diskusi terbatas dengan para aktivis pro demokrasi di Jl. Veteran, Fatululi, Oebobo, Kota Kupang, 07 Juli 2020.

Sebagaimana yang kita ketahui, Pemilihan Langsung Kepala Daerah di Indonesia lahir dan menderas pascareformasi. Sejumlah pengalaman dalam waktu yang relative belum terlalu lama berdemokrasi, yang paling membekas adalah gesekan dan konflik di masyarakat.

Analisa para pengamat politik demokrasi menyebut, bahwa, potensi konflik usai berlangsungnya Pemilihan Langsung Kepala Daerah di Indonesia, sangat mungkin berulang. Very Junaedi, Direktur Eksekutif KoDe Inisiatif, sebuah lembaga riset independen di bidang Hukum Konstitusi dan Demokrasi, menyebut, “Ada potensi konflik yang akan terjadi karena lemahnya penegakan hukum, politik identitas, konflik tata kelola pemerintahan, konflik pemilihan dan jabatan, konflik identitas dan konflik sumber daya, kekerasan dalam penegak hukum dan lainnya.” Seperti itu ditulis Almer Sidqi dalam tajuk ‘Potensi Konflik di Daerah pada Pilkada 2020’ di gatra.com, 15 Januari 2020.

Sokan Teibang punya pandangan tersendiri terkait potensi konflik yang mungkin terjadi di masyarakat dalam hubungannya dengan penyelenggaraan Pemilihan Langsung Kepala Daerah di Nusa Tenggara Timur. “Pengalaman-lah yang mengajari kita. Lihat, baca, dan amati sendiri. Pihak yang kalah dalam even Pemilihan Langsung Kepala Daerah, biasanya terabaikan dalam proses pembangunan lima tahun masa pemerintahan pihak yang menang. Contoh sederhana soal bantuan bencana pandemi C-19 yang sementara disalurkan pada masyarakat yang terdampak situasi bencana sekarang. Orang-orang yang berseberangan dengan penguasa saat Pilkada, untung-untungan kalau dapat bahagian yang harusnya menjadi hak mereka. Di sini kondisinya seperti itu. Makanya saya bersuara, karena boleh jadi penyalur bantuan beralasan dananya sudah habis ketika orang-orang berhak menerima bantuan itu datang meminta haknya, namun mereka itu berada pada posisi berseberangan pilihan pada di even Pilkada yang lalu. Ini sudah terjadi di berapa tempat, makanya ada pembagian ‘tahap dua’. Di sisi lain, pihak yang kalah boleh jadi menjadi pengabai proses pembangunan. Mereka tidak terlibat dalam kerja-kerja sosial dan apa saja yang sudah direncanakan dan sementara dilakukan oleh pihak pemenang Pilkada. Semua yang saya sebut ini berpotensi untuk menjadi konflik terkait pemilihan langsung oleh rakyat,” ujar Teibang.

Berkaca dari sejumlah soal, Teibang punya usul supaya Pemilihan Langsung Kepala Daerah dilakukan saja oleh DPRD. “Saya berpendapat supaya pemilihan dilakukan saja oleh DPRD di tiap daerah. Bukan hanya karena biaya dan anggarannya lebih ‘murah’, Pilkada sudah meninggalkan jejak konflik horizontal di masyarakat. Jadi, menurut saya, kembalikan saya kedaulatan DPRD untuk memilih pemimpin di daerah. Rakyat dalam hal ini sudah punya wakilnya di DPRD, jadi hal ini demokratis dan lebih efektif,” kata dia. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini