Dilema Pengawasan Pilkada di Tengah Bahaya Covid-19


Oleh: Mineshia Lesawengen


DEWAN PERWAKILAN Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menyepakati pelaksanaan pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Keputusan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Tahapan pilkada yang sempat ditunda akan dilanjutkan. Demikian halnya dengan pengawasan tahapan jalannya pilkada hingga pemungutan suara nanti, sudah harus dilakukan dan harus ada persiapan oleh institusi yang dipercayakan, yakni Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Sejak bulan Maret 2020 hingga saat ini, Indonesia sedang dilanda bencana non-alam, hadirnya pandemi Covid-19. World Health Organization (WHO), organisasi kesehatan dunia sempat mengatakan bahwa Covid-19 akan lama diatasi, bahkan ada kemungkinan ini akan berubah menjadi endemik yang tidak akan hilang. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai Covid-19, dengan jaga jarak, social distancing, dan berbagai imbauan serta kebijakan lainnya.

Di tegah pandemi, tahun ini Indonesia akan menggelar pilkada serentak sebagai salah satu bukti perwujudan demokrasi kedaulatan rakyat. Jabatan politik  memang kita butuhkan, salah satunya melalui sarana pemilihan. Namun, keselamatan rakyat juga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi itu karena bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Sebagai lembaga yang dipercayakan oleh negara untuk melakukan pengawasan, Bawaslu telah menegaskan akan tetap melaksanakan perintah Perppu, dan KPU akan mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) mengenai tahapan baru dan pemilihan dalam keadaan Covid-19.

Persoalan ini diseriusi dalam webdiskusi yang digelar Pusat Studi Kepemiluan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Jumat (5/6/2020).

Dr. Frizt Edward Siregar, S.H., LL.M., Ph.D., Koordinator Divisi Hukum, Humas, Data dan Informasi Bawaslu RI dalam diskusi itu mengungkapkan pelanggaran yang kerap terjadi dalam setiap penyelenggaraan pilkada, bahkan potensi pelanggaran yang akan terjadi pada Pilkada Desember 2020 ini. Di antaranya ‘abuse of power’ oleh petahana, proses penananganan pelanggaran, persoalan daftar pemilih tidak akurat, regulasi terkait penyelenggaraan pemilihan belum jelas, verifikasi faktual dukungan calon kurang maksimal, potensi logistik tidak sampai, pelanggaran terhadap prosedur dan tata cara pemungutan dan perhitungan, dan tidak terjaminya rasa aman seluruh pihak terkait penyelenggara pemilihan.

“Melihat kondisi pelanggaran yang dimana harus memakai daring (dalam jaringan), Bawaslu harus memiliki prosedur penanganan yang terbaik dalam hal pengawasan dan penegakan,” tutur Siregar.

Di waktu yang sama, Dr. Radian Syam, S.H., M.H., dosen Hukum Tata Negara Universitas Trisakti Jakarta, berkata pemilu dapat disebut sebagai ‘pasar politik’ (political market). Ini menjadi tempat individu atau masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat), antara peserta pemilu (parpol) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih. Proses ini tentu setelah lebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye dan sebagainya, guna meyakinkan pemilih sehingga saat pencoblosan dapat memilih salah satu parpol yang menjadi peserta pemilu untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif.

“Kita tidak bisa lagi menolak, dan bergerak maju walaupun sampai saat ini kita berharap ada kebijakan yang bijak dari pemerintah. Masih terdapat keraguan, walaupun sudah ditetapkan tetapi masih ada ruang apabila secara statis belum berkurang, masih dapat diperpanjang kembali. Jangan sampai Pilkada 2020 malah menjadi fase kedua seperti flu Spanyol yang dahsyat,” jelasnya.

Pakar hukum ini menjelaskan beberapa poin agar pengawasan berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan. Di antaranya, pengawasan harus bersifat ‘fact finding’. Dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan.

“Terpaut dengan tugas, tentunya adanya faktor-faktor lain seperti biaya, tenaga kerja, sistem, dan prosedur kerja dan lain sebagainya,” katanya.

Kedua, pengawasan harus bersifat preventif. “Yang berarti bahwa proses pengawasan dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan penyelewengan-penyelewengan,” jelasnya.

Ketiga, pengawasan diarahkan pada masa sekarang. “Yang berarti bahwa pengawasan hanya dapat ditujukan pada kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilakukan,” sambungnya.

Keempat, pengawasan hanyalah sekadar alat untuk meningkatkan efisiensi. Kelima, pengawasan tidak boleh dipandang sebagai tujuan. Keenam, proses pelaksanaan pengawasan harus efisien. Ketujuh, pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah jika ada ketidakberesan, akan tetapi untuk menentukan apa yang tidak betul.

“Tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Jadikan pemilu sebagai media pembangunan bangsa. Jangan sampai karena keadaan sekarang kita menjadi ‘baku hantam’ atau menyalahkan orang lain. Semoga ada keputusan yang bijak untuk menyikapi hal ini,” kunci Radiam pada pemaparan materinya.

Sementara itu, aktivis dan pengamat politik, Jeirry Sumampow menjelaskan kondisi para pemilih yang dianggap acuh dalam pengawasan menuju pilkada. Masyarakat dianggap lebih mementingkan kondisi ekonomi-sosial dibandingkan pengawasan pilkada, padahal pengawasan pilkada juga dibutuhkan kontribusi daripada masyarakat itu sendiri.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) ini menilai, dampak paling langsung adalah pada pemilih, dimana partisipasi publik pada demokrasi menjadi menurun drastis.

“Ideal yang kita inginkan tentang pemilu harus kita turunkan. Tak bisa kita bayangkan pemilu diadakan dengan hal yang seperti biasa, dengan mencari metode dan mekanisme yang dapat mempertahankan kualitas,” ucapnya.

“Kita sedang dalam dilema mencari formula dan mekanisme untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di setiap tahapan, di saat kondisi seperti ini, walau tidak mudah,” sambungnya.

Menurut pandangan peneliti isu-isu kepemiluan, Dr. Ferry Daud Liando, putusan pelaksanaan pemungutan suara pada Desember 2020 harus tetap dilakukan. Dikarenakan penyelenggara dipegang oleh sumpah dan kode etik.

Liando mengatakan, bagi penyelenggara, keputusan untuk melaksanakan tahapan pilkada pada bulan Juni harus ditindaklanjuti penyelenggara.

“Sebab jika mereka tidak melaksanakan maka posisi mereka akan berhubungan dengan sumpah jabatan atau kode etik,” kata Liando yang merupakan anggota Electoral Research Institute.

Ia pun mengimbau, jangan sampai karena Covid-19 maka dimaklumkan ada pelanggaran dalam pilkada. Jangan sampai ada pembenaran dari kekurangan kualitas pilkada.

“Maka harus diperhatikan kesiapan-kesiapan untuk bagaimana kita melangkah, harus ada kesiapan bersama-sama,” tutupnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini