Demi ‘Show of Force’, Masyarakat Jadi Korban

Ferry Daud Liando


Penulis: Anugrah Pandey
Editor: Lefrando Gosal


ELEKTORAL.ID, Manado – Prediksi sejumlah pegiat pemilihan umum (pemilu) bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 akan menjadi sumber mata rantai baru Covid-19, sepertinya berpotensi akan terjadi. Seperti catatan peneliti isu-isu kepemiluan, Dr. Ferry Daud Liando.

Menurutnya, tahapan-tahapan pendaftaran calon yang berakhir Minggu malam kemarin, seakan membuktikan itu.

“Tak ada satu pasangan pun yang mampu mengendalikan pendukungnya. Aturan jaga jarak, pakai masker dan menghindari kerumunan dipertontonkan ke publik,” kata Liando.

Menurutnya, ketentuan yang sudah diatur rapih dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020, tak ada satupun pasangan yang patuh.

“Tak hanya pendukungnya yang melanggar aturan tentang pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota serentak lanjutan dalam kondisi bencana non alam Covid-19 itu, namun sejumlah bakal calon pun mempertontonkan hal yang sama,” sebutnya.

Terlihat juga polisi yang harusnya bertugas mengendalikan itu ternyata tak bisa berbuat banyak, karena mereka berhadapan dengan massa.

Waktu lalu, saat terjadi pro dan kontra apakah pilkada dapat dilaksanakan di tahun 2020, sebagai pendukung, termasuk pemerintah memberikan jaminan, bahwa prosedur kesehatan dapat dikendalikan sehingga masyarakat bebas penularan.

Argumentasinya, bahwa ada beberapa negara yang tetap melaksanakan pemilu di tengah Covid-19.

“Salah satu negara yang sering dirujuk adalah Korea Selatan. Padahal baik sistem, tahapan maupun perilaku masyarakat sangatlah berbeda. Karakter masyarakat di sana sangatlah patuh dan taat. Ada denda atau sanksi berat jika ada yang melanggar protokol kesehatan,” tutur Liando.

Ia menilai, perilaku seperti ini belum banyak dicontohi di negara Pancasila ini. Ada masyarakat yang melawan petugas jika ditegur ketika tidak menggunakan masker.

“Ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan pada saat pendaftaran calon kepala daerah mengindikasikan kebebasannya tak dapat terkendali,” lanjut Liando.

Jadi, menurut akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ini, demokrasi warga negara terkesan makin liar tanpa arah.

Padahal tak ada satupun aturan yang mewajibkan keterlibatan massa dalam proses pendaftaran calon. Sehingga dua orang pun memungkinkan untuk memasukan berkas pencalonan ke KPU.

“Namun sayangnya, tak ada satupun pasangan calon yang berinisiatif melakukan itu. Semua berlomba-lomba mempertontonkan ‘show of force’, kekuatan massa pendukung,” ketus Liando.

Diketahui, dalam waktu dekat, tahapan pilkada akan dilanjutkan dengan kampanye. Ia menilai, peristiwa kemarin harus dijadikan pelajaran.

“Tak hanya membuat regulasi yang sifatnya imbauan. Perlu sanksi tegas bagi pihak yang melanggar. Termasuk jika ada calon yang melanggar,” tegasnya.

“Jika ketentuan peserta kampanye hanya terdiri dari 100 orang, lantas bagaimana tindakan untuk memastikan sesuai jumlah itu. Siapa pihak yang bertanggungjawab mengawal itu. Perlu pengawasan secara ketat dan perlu sanksi untuk melahirkan efek jera,” tandas Liando.

Dia menambahkan, sebagai negara demokrasi, hak warga negara untuk berkumpul dan menyatakan sikap selalu dijamin, namun perlu pengaturan agar jangan sampai pilkada memicu persoalan baru.

“Demokrasi harus dikawal, namun jangan sampai menyimpang dari prinsip kemanusiaan,” kunci Liando. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini