Elektoral.id, Jakarta – Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang juga pegiat media sosial, Ade Armando, memviralkan pemberitaan media yang mengungkap skandal di Bank Mandiri (BMRI). Video monolog Ade yang ditayangkan Cokro TV pada Sabtu (24/9/2022), sedikitnya sudah ditonton 150 ribu kali.
“Saya sebenarnya berharap Bank Mandiri bisa menjadi bank andalan Indonesia. Tapi cerita yang beredar tentangnya kerap terasa menakutkan. Rasanya Mandiri sama sekali tak bisa diharapkan menjadi BUMN yang membanggakan,” kata Ade dalam video membuka komentarnya tentang skandal di bank pelat merah tersebut.
Ade mengatakan, sumber cerita yang dia bagikan berasal dari pemberitaan Majalah TEMPO edisi Agustus lalu, dan sebagian lain dia dengan dari berbagai pihak yang menurutnya kredibel. Pemberitaan tersebut terkait debitur yang dipersulit oleh BMRI dalam permohonan restrukturisasi kredit yang diajukannya.
“Debitur yang dimaksud adalah PT Titan Infra Energy. Kita sebut saja Titan. Titan adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang infrastruktur dan logistik energi. Titan memiliki sekitar 15 anak perusahaan,” kata Ade.
Selain tambang batu bara, lanjut Ade, salah satu usaha Titan yang paling strategis adalah jalan tambang sepanjang 116 km yang menghubungkan tambang batu bara di Muara Enim, Sumatera Selatan, ke Pelabuhan Muara Lematang di Sungai Musi.
“Jalan tambang milik Titan itu sangat strategis karena jalan tambang itu adalah jalan satu-satunya, selain jalur kereta api, untuk mengangkut batu bara dari Sumatera Selatan. Titan membeli jalan itu dari Adaro pada 2014 senilai USD 25 juta. Kini harganya pasti sudah berlipat-lipat,” ungkap Ade.
“Dan jalan ini, yang menurut cerita yang beredar, yang menjadikan Mandiri berusaha membangkrutkan Titan agar mau melepas penguasaan jalan itu kepada sebuah perusahaan lain,” katanya.
Ade kemudian menjelaskan duduk perkara Titan dan BMRI sehingga bank milik pemerintah ingin membangkrutkan perusahaan baturabara yang beroperasi di Sumatera Selatan tersebut.
Pada 2018, kata Ade, Titan berencana melakukan restrukturisasi kredit 15 anak perusahaan yang tersebar di sejumlah bank.
“Bank Mandiri menawarkan pembentukan sindikasi kredit dari beberapa bank nasional dan asing. Jadi sindikasi akan memberi pinjaman kepada grup Titan dan uang itu akan bisa mengatasi kredit-kredit yang semula tersebar itu. Titan setuju,” kata Ade.
Kemudian pada 28 Agustus 2018, lanjut Ade, Titan menandatangani perjanjian dengan kreditur sindikasi yang terdiri dari Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, Credit Suisse AG, dan Trifagura. Dalam perjanjian itu disepakati Titan menerima kredit sebesar USD 450 juta.
“Kredit terbesar datang dari Bank Mandiri sebesar USD 270 juta, diikuti CIMB Niaga USD 90 juta, Credit Suisse AG USD 53,8 juta, dan Trifagura USD 36,2 juta,” beber Ade.
Karena masa berlaku perjanjian adalah 5 tahun, kata Ade, jatuh tempo kredit bank sindikasi kepada Titan pada 23 Agustus 2023. Seusai perjanjian seluruh utang dari sindikasi 4 bank itu digunakan Titan untuk melunasi utang mereka beserta anak-anak usahanya.
“Agunan yang dijaminkan adalah seluruh saham Titan dan saham 15 anak usahanya, semua aset milik Titan dan anak usahanya, jaminan perusahaan, dan jaminan pribadi,” ujar Ade.
Menurut Ade, Titan dan bank sindikasi menandatangani perjanjian yang disebut Cash and Accounts Management Agreement (CAMA). Dalam kesepakatan ini ditetapkan bahwa semua pendapatan Titan dan anak perusahaannya harus masuk ke dalam rekening collection account (CA) di Bank Mandiri. Dana tersebut kemudian akan dialokasikan ke dua akun, 80 persen ke rekening operating account (OA) dan 20% ke rekening debt service account (DSA).
“Jadi CA menjadi rekening tempat penampungan semua pendapatan Titan dan anak usahanya. OA menjadi rekening yang digunakan untuk biaya operasional Titan yang dananya berasal dari CA. Sementara DSA menjadi rekening yang digunakan untuk pembayaran pokok utang dan bunga oleh Titan kepada sindikasi pemberi pinjaman,” jelas Ade.
“Seluruh rekening Titan ini merupakan rekening di Bank Mandiri sehingga Kreditur Sindikasi dapat memonitor arus keluar masuknya pendapatan Titan dan anak-anak usahanya,” imbuhnya.
Singkat kata, kata Ade, perjanjian disepakati dan Titan lancar mencicil utangnya sampai Februari 2020.
“Masalah muncul ketika merebaknya pandemi virus Corona, virus melanda di seluruh dunia. Pendapatan Titan merosot drastis. Harga komoditas energi, termasuk batu bara turun amat tajam karena China dan India sebagai pembeli utama, lockdown,” kata Ade.
Akibatnya, Titan tak mampu mengangsur utang pokoknya, meskipun masih mampu membayar bunga. Pada Februari 2020, kata Ade, Titan gagal bayar cicil untuk pertama kalinya.
“Pada April 2020, Titan mengajukan permohonan restrukturisasi utang namun tak ditanggapi oleh Mandiri. Dalam kondisi itulah Titan melakukan langkah darurat. Sejumlah pendapatan dari pembeli tidak ditempatkan di CA melainkan langsung digunakan sebagai dana operasi di OA,” ujarnya.
Namun demikian, kata Ade, Titan melakukan pembayaran tambahan (top up) ke dalam rekening DSA sejak Mei 2019 sampai Juni 2020 dengan jumlah total sebesar USD 30,4 juta untuk membayar kembali pokok pinjaman dan bunga.
“Sejak saat itulah upaya untuk menghabisi Titan dilakukan,” tegas Ade.
Mula-mula, kata Ade, para direksi Titan diperiksa polisi dengan dugaan melakukan tindakan pidana penipuan dan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang dana fasilitas kredit sindikasi.
“Titan dianggap menipu atau melakukan penggelapan karena mengalihkan dana yang seharusnya disetorkan ke CA ke rekening OA,” ujarnya.
Pada Agustus 2021, lanjut Ade, polisi meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Namun pada 4 Oktober 2021, polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) lantaran tidak cukup bukti.
“Ternyata Mandiri tak mau menyerah. Mandiri melaporkan kasus ini kembali ke polisi pada 16 Desember 2021. Pada 9 April 2022, semua rekening atas nama Titan dan anak perusahaan diblokir,” kata Ade.
“Pemblokiran tersebut dilakukan sebelum polisi menetapkan tersangka dalam kasus ini. Padahal untuk memblokir rekening, sesuai aturan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), polisi harus lebih dulu menetapkan tersangka,” ujarnya.
Akibat pemblokiran yang dilakukan persis sebelum Idul Fitri ini, kata Ade, Titan dan anak-anak perusahaannya kelimpungan antara lain untuk membayar gaji dan THR karyawan.
“Titan terus melawan. Titan memutuskan mempraperadilan-kan polisi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 11 Mei 2022,” ujarnya.
Dalam praperadilan itu, lanjut Ade, pengadilan mengabulkan permohonan Titan dengan menyatakan penyidikan polisi atas laporan BMRI yang diikuti pemblokiran rekening itu tidak sah.
“Mandiri ternyata tetap tak mau mundur. Pada 11 Juli 2022, Bank Mandiri kembali mengajukan praperadilan. Lucunya, hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu, pada 28 Juli 2022, Mandiri mencabut praperadilan tersebut. Dan pada 5 September, Bank Mandiri mengajukan kembali praperadilan,” kata Ade.
“Ini semua sangat mengherankan. Yang paling tidak masuk akal adalah tuduhan bahwa Titan melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Memang pembayaran utang Titan sempat macet, tapi itu terjadi dalam kondisi darurat Covid,” imbuh Ade.
Pemerintah, kata Ade, saat itu menetapkan perlunya bank-bank melakukan relaksasi dalam pembayaran utang. “Jadi jelas ini bukan perkara kriminal,” tegasnya.
Dalam kesepakatan kredit antara Titan dan sindikasi sendiri, kata Ade, ditetapkan bahwa kalau ada kelalaian salah satu pihak, perselisihan diselesaikan dalam badan arbitrase nasional di Singapura.
“Bukan dengan cara tiba-tiba saja debitur dituduh menggelapkan dana,” ujarnya.
“Lagipula yang dijadikan landasan tuduhan penggelapan adalah tidak disetorkannya uang hasil operasi ke CA melainkan ke OA. Itu kan masih di Bank Mandiri, Bank Mandiri juga. Tidak ada uang yang lari keluar Bank Mandiri,” ujarnya.
Sepanjang proses ini pun, kata Ade, Titan terus berupaya membayar kembali cicilannya. Saat ini utang yang masih harus dibayar Titan adalah sekitar USD 204 juta.
“Untuk membayar utang, Titan sempat meminta izin kepada Bank Mandiri untuk menjual anak usahanya di bidang perkapalan, tapi ditolak,” ujarnya.
Pada 9 Juni 2020, kata Ade, Titan juga meminta penundaan pembayaran utang selama dua tahun kepada BMRI dan anggota sindikasi lainnya.
“Bank-bank asing anggota sindikasi setuju dengan penundaan pembayaran, tapi Mandiri tidak,” katanya.
Sebagai kreditur, menurut Ade, BMRI seharusnya membantu debiturnya untuk menyelesaikan utang-utang yang melilit mereka.
“Bukan malah membuat Titan terjerat ke dalam jaring kesulitan tanpa ada pilihan jalan keluar. Terkesan sekai Mandiri ingin mempersulit hidup Titan. Kenapa? Tidak jelas!” kata Ade.
Menurut Ade, Titan sama sekali tidak layak diperlakukan sebagai pesakitan.
“Bila Mandiri ingin ekonomi Indonesia sehat, Mandiri justru perlu membesarkan debitur yang bertanggungjawab seperti Titan. Tapi lain halnya kalau Mandiri memang ingin membangkrutkan Titan agar saham Titan bisa diambilalih,” ujarnya.
“Ayo gunakan akal sehat. Karena hanya kalau kita gunakan akal sehat, negara ini akan selamat,” tutupnya.