Oleh: Al Araf
“Pemerintah Harus mengakomodasi Masukan Publik dan DPR dalam Pembahasan Rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme”
Pemerintah akan segera mengesahkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Dengan masih banyaknya substansi bermasalah di dalam rancangan Perpres, jika pengesahan tersebut tetap dipaksakan oleh pemerintah, hal tersebut tidak hanya sebagai langkah yang terburu-buru tapi lebih dari itu akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam penanggulangan ancaman terorisme yang berdampak pada tatanan politik demokrasi, hak asasi manusia dan rusaknya sistem penegakan hukum di Indonesia.
Kami memandang, pemerintah semestinya tidak perlu tergesa-gesa mengesahkan rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam mengatasi aksi teorisme. Yang dibutuhkan pada saat ini adalah mendorong pembahasan secara transpran mungkin dan melibatkan publik seluas-luasnya mengingat pelibatan TNI tersebut perlu dipastikan harus selaras dengan tata nilai dan norma negara demokrasi, tidak mengancam hak asasi manusia dan juga tidak menggeser model dan arah penanganan aksi terorisme yang harus tetap dalam kerangka criminal justice system.
Sehingga, sangat penting bagi pemerintah untuk mencermati dan mengakomodir berbagai catatan kritis dan masukan baik yang berkembang di publik maupun yang disampaikan DPR.
Lebih dari itu, sebelum mengesahkan rancangan Perpres tentang pelibatan militer dalam mengatasi aksi terorisme, pemerintah sebaiknya mendorong militer harus terlebih dahulu tunduk dalam sistem peradilan umum.
Langkah tersebut harus dijalankan dengan mereformasi sistem peradilan militer sebagai mandat agenda reformasi 1998 sebagaimana telah dituangkan di dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 dan juga mandat UU TNI itu sendiri (Pasal 65 ayat 2).
Kami menilai, ada sejumlah ketentuan bermasalah dalam rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme yang harus diperbaiki, antara lain: Pertama, pengerahan pasukan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan cukup hanya atas dasar perintah presiden (Pasal 8 ayat (2) draft Perpres) tanpa ada pertimbangan DPR.
Pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI bahwa pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme harus berdasarkan keputusan politik negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Politik Negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR (penjelasan Pasal 5 UU TNI).
Kedua, dalam Pasal 14 rancangan Perpres ini disebutkan bahwa anggaran pengananan terorisme dapat bersumber dari anggaran daerah (APBD) dan sumber lain di luar APBN. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan pasal 66 UU TNI dimana anggaran untuk TNI harus sentralistik dan bersumber dari APBN.
Jika ketentuan ini dipaksanakan berpotensi menimbulkan problem akuntabilitas serta berpotensi membebani APBD yang selama ini digunakan untuk membangun wilayah masing-masing. Selain itu ketentuan ini juga tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat dan tidak didesentralisasikan.
Ketiga, rancangan Perpres pelibatan TNI memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI dengan menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 rancangan Perpres) sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.
Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum.
Ketentuan fungsi penangkalan dalam rancangan Perpres juga ‘karet’ atau multitafsir. Dalam Pasal 3 rancangan Perpres, yang dimaksud fungsi penangkalan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya.
Sementara itu, tidak ada penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya” itu. Longgarnya penafsiran “operasi lainnya” tersebut menimbulkan potensi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan untuk melakukan operasi-operasi yang melanggar hak asasi manusi dengan dalih menangkal ancaman terorisme.
Keempat, luasnya pengaturan peran TNI dalam mengatasi aksi Terorisme berpotensi menimbulkan terjadinya tumpah tindih tugas dan kewenangan antara TNI dengan institusi keamanan lainnya yakni Polri, BIN dan BNPT. Hal ini menimbulkan silang sengkarut penanganan terorisme yang pada akhirnya membuat upaya penanganan terorisme tidak efektif.
Berdasarkan catatan di atas, kami mendesak pemerintah untuk tidak terburu-buruk mengesahkan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Jika hal tersebut dipaksakan akan membahayakan tatanan kehidupan demokrasi, mengancam HAM dan merusak sistem penegakan hukum.
Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pihak terutama publik untuk memastikan pelibatan TNI tetap selaras dengan tata nilai dan norma negara demokrasi dan tidak merusak sistem penegakan hukum, serta yang juga tak kalah penting adalah mendorong dilakukannya reformasi sistem peradilan militer terlebih dahulu.
Al Araf – Ketua Badan Pengurus CENTRA INITIATIVE